Minggu, 09 Agustus 2009

Ruang Publik; Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis


Judul Buku: Ruang Publik; Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis/Judul Asli: The Struktural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into Category of Bourgeois Society/Penulis: Jürgen Habermas/Penerjemah: Yudi Santoso/Penerbit: Kreasi Wacana, Yogyakarta/Cetakan: Pertama, Juni 2007/Halaman: xviii + 358 hlm

RUNTUHNYA peradaban dan perekonomian dunia pasca Perang Dunia II akibat fasisme menyebabkan orang berpaling pada demokrasi. Akan tetapi, di jantung Jerman yang porak-poranda sendiri, Horkheimer dan Theodor W Adorno justru menerbitkan buku yang bernada pesismis terhadap proyek demokrasi, Dialectics of Enlightenment (1947).
Menurut dua tokoh terkemuka teori kritis Mazhab Frankfurt tersebut, dalam trauma pasca PD II dan munculnya kapitalisme liberal di Amerika, semangat Pencerahan sebagai tonggak pendiri proyek demokrasi telah runtuh. Semangat Renaisans telah gagal menghasilkan masyarakat bebas yang kritis dan rasional. Demokrasi telah terjebak menjadi fasisme, akal budi hanya menyisakan irasionalitas, dan kebudayaan telah menjadi alat hegemoni dan manipulasi.
Kegelisahan intelektual yang digaungkan oleh dua pendahulunya itulah yang menyebabkan Jürgen Habermas, filsuf kontemporer yang paling terkenal dari Mazhab Frankfurt, menerbitkan buku ini yang dalam bahasa aslinya berjudul Strukturwandel der Öffentlichkeit (transformasi struktural ruang publik) pada 1962. Karya yang dalam bahasa Inggris baru diterbitkan pada 1989 ini merupakan hasil riset sosioligis-historis perkembangan ruang publik sejak jaman Renaisans hingga berkembangnya kapitalisme lanjut dewasa ini. Bagi Habermas, pesimisme terhadap demokrasi hanya dapat dijawab dengan optimisme berkembangnya ruang publik yang rasional.
Sebagai ruang yang berkembang di antara masyarakat sipil dan negara, ruang publik merupakan tempat di mana segala informasi yang mengalir deras didiskusikan secara kritis tanpa ada pengekangan dan pembatasan dari otoritas manapun. Di dalamnya berbagai kepentingan umum didiskusikan dalam ruang diskursus yang rasional-argumentatif. Konsensus yang dicapai bersifat intersubjektif mengenai suatu pendapat yang secara argumentatif dipandang lebih baik. Hasil konsensus inilah yang kemudian digunakan untuk mengontrol otoritas negara dan kapitalisme pasar.
Menurut Habemas, sejarah ruang publik di era modern sendiri bermula dari lahirnya kapitalisme-uang dan kapitalisme-niaga (early finace and trade capitalism), ketika elemen-elemen tatanan sosial baru yang berseberangan dengan tatanan feodal pun terbentuk. Sejak abad ke-13, tatanan sosial baru yang berbasis pada kapitalisme-uang dan kapitalisme-niaga menyebar dari negara kota-negara kota di Italia Utara ke seluruh Eropa dan melahirkan sentra-sentra perdagangan barang-barang pokok semisal di Bruges, Luttich, Brussels, dan Paris. Perdagangan sistem jarak jauh yang mereka lakukan juga telah memunculkan pekan raya-pekan raya niaga raksasa (great trade fairs) di persimpangan-persimpangan jalan antarkota-kota besar.
Penemuan peradaban-peradaban baru melalui ekspedisi pelayaran niaga dan penaklukan juga telah memperluas jaringan perdagangan bangsa-bangsa di Eropa. Luasnya jaringan perdagangan ini membuat kebutuhan akan informasi yang cepat dengan jangkauan yang lebih luas menjadi penting. Sejak abad ke-14, surat menyurat tradisional mulai diorganisasikan menjadi suatu sistem korespondensi yang berbasis gilda yang lebih profesional. Pada waktu itu, kota-kota perdagangan yang besar lantas menjadi pusat-pusat bagi lalu lintas berita sekaligus.
Arus informasi yang semakin sarat tersebut akhirnya memunculkan media-media cetak yang khusus untuk menyebarluaskannya ke ranah publik. Tercatat mulai pertengahan abad ke-17, media-media massa, yang saat itu disebut jurnal, terbit dalam bentuk mingguan, bahkan harian, meski kontrol otoritas negara masih cukup kuat. Jurnal-jurnal seperti Journal des Savants (1665), Acta Eruditorum (1682), dan Monatsgesprache (1688), telah dilengkapi dengan tulisan-tulisan berkala, memuat bukan hanya informasi-informasi penting, namun juga instruksi pedagogis, kritik, dan kajian-kajian sosial, sastra, dan politik.
Munculnya jurnal-jurnal mingguan dan harian pada gilirannya juga menciptakan publik pembaca yang semakin luas. Pada abad ke-17 dan 18, kedai-kedai kopi di Inggris, salon di Perancis, dan tischgessellschaften (himpunan-masyarakat meja) di Jerman merupakan tempat-tempat favorit untuk mendiskusikan berbagai informasi yang tengah berkembang. Bibit-bibit awal ruang publik modern mulai menunjukkan taringnya dengan runtuhnya kekuasaan Raja Louis XVI oleh Revolusi Perancis pada paruh kedua abad ke-18. Kedai kopi, salon, dan tischgessellschaften yang pada mulanya lebih didominasi oleh diskusi-diskusi karya sastra telah diwarnai oleh diskusi politik guna melawan para penguasa yang otoriter.
Yang monumental dalam sejarah ruang publik adalah bahwa ia menandai bangkitnya suatu masa dalam sejarah ketika individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat dapat membentuk opini yang rasional di ruang publik, memberikan tanggapan langsung terhadap apapun yang menyangkut kepentingan-kepentingan mereka sambil berusaha mempengaruhi praktik-praktik politik. Ruang publik memupuk oposisi terhadap bentuk-bentuk hierarkis dan tradisional dari otoritas feodal yang selama berabad-abad menguasai praktik politik di Eropa.
Akan tetapi, pesimisme terhadap proyek Pencerahan yang digaungkan oleh Adorno dan Horkheimer dalam Dialektics of Enlightenment masih terasa memberatkan langkah Habermas. Idealisasi ruang publik borjuis yang rasional dari abad ke-18 guna menjawab tantangan di abad ke-20 dan sesudahnya terdengar hanya semacam nostalgia saja. Nyatanya, ruang publik di abad ke-20 dan sesudahnya hanya menjadi tempat yang subur bagi tumbuhnya iklan-iklan komersial buah kapitalisme liberal dan hegemoni kekuasaan negara. Namun, tanpa kenal lelah, Habermas terus mencari jalan baru guna menembus kebuntuan itu.
Pencarian Habermas pada ruang publik yang rasional telah membawanya pada rasionalitas bahasa sebagai dasar filosofis bagi suatu teori kritis baru. Seluruh karya pemikirannya kemudian, yang sangat banyak sekali, semisal Theorie und Praxis (Teori dan Praksis) (1963), Erkenntnis und Interesse (Pengetahuan dan kepentingan manusia) (1968), Theorie des Kommunikativen Handelns (Teori Tindakan Komunikatif) (1981), hingga yang terbaru Faktizität und Geltung (Fakta dan Kesahihan) (1992), merupakan upaya besarnya dalam mengitegrasikan rasionalitas bahasa ke dalam ruang pablik idamannya itu.

Gagal Jadi PNS Jadi Bos


Judul Buku : Gagal Jadi PNS Jadi Bos
Penulis : Rus Dharmawan
Penerbit : Kreasi Wacana, Yogyakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : xxii+198 halaman

SEKISAR sebulan belakangan ini, terjadi gelombang tsunami pencari kerja yang luar biasa setelah dipicu oleh dibukanya lowongan penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sejumlah instansi pemerintahan. Rupanya status PNS masih menjadi sihir ajaib yang menghipnotis sebagian besar alam berpikir masyarakat.

Bayang-bayang terjaminnya hari-tua nanti merupakan salah satu faktor yang melejitkan animo menjadi PNS. Semangat masyarakat mengikuti seleksi PNS selain didorong oleh persepsi bahwa menjadi pegawai negeri adalah simbol kebanggaan, juga hingga saat ini menjadi pegawai negeri masih identik dengan investasi masa depan yang cemerlang. Jika sudah bekerja sebagai pegawai negeri tentunya tak lagi dirisaukan oleh ancaman pemutusan hubungan kerja sebagaimana bekerja di instansi swasta.
Padahal, jika ditilik lagi, formasi yang dibuka sebetulnya jauh dari memadai bila dibandingkan dengan begitu banyaknya jumlah peserta tes PNS. Bisa diibaratkan, “satu kursi” diperebutkan oleh puluhan, bahkan ratusan peserta tes. Tentu dapat dibayangkan, peluang untuk lolos tak ubahnya mencari jarum di atas tumpukan jerami. Dengan kata lain, mengandalkan peruntungan alias nasib mujur.
Buku Gagal Jadi PNS Jadi Bos karya Rus Dharmawan ini hadir pada saat yang tepat. Buku ini memotret dari sisi lain animo menjadi PNS yang masih dominan sekaligus menawarkan wacana antitesis terhadapnya: bahwa kesuksesan tidak diukur dari apabila seseorang telah menjadi PNS. Dharmawan memang tidak bermaksud meruntuhkan animo tersebut, hanya saja ia mencoba menyuguhkan diskursus pembanding bahwa menjadi PNS bukanlah skala prioritas menggapai sukses. Alih-alih demikian, justru masih banyak pekerjaan lain yang menjanjikan dengan status sosial-ekonomi yang cukup mapan.
Diawali dengan pemetaan status PNS dalam bentangan sejarah, Dharmawan menemukan fakta bahwa telah terjadi pergeseran aksiologis-filosofis citra PNS. Secara status, citra PNS era 80-90-an memang masih “disegani”, tapi dalam kalkulasi ekonomi justru koyak-moyak ketika krisis finansial global menghantam sendi-sendi perekonomian negara Dunia Ketiga di penghujung abad ke-19 (hlm. 49-60).
Dharmawan mengajukan sejumlah fakta empirik bahwa penghasilan pegawai jauh dari memadai di zaman modern ini. Bahkan beberapa orang lantas menggadaikan SK Pengangkatan PNS sebagai solusinya. Sebuah solusi yang sebenarnya bisa menjadi bom waktu sebab terjadi stagnasi penghasilan di tengah meroketnya nilai-nilai kebutuhan yang cukup drastis.
Fenomena inilah yang kurang disadari oleh mereka yang ingin menjadi PNS. Bayangan yang muncul hanyalah kenikmatan kemapanan ekonomi yang sejatinya semu belaka dan sama sekali “tidak menantang”. Karena itu, tak jarang mereka dilanda stress berkepanjangan ketika tak lulus ujian.
Dengan bahasa yang halus, jauh dari kesan menggurui, dan argumentasi yang disandarkan pada beragam kasus nyata, Dharmawan mengajak kita untuk menimbang ulang histeria cita-cita menjadi PNS sekaligus mengubah pola pikir dalam menggapai sukses.
Pola pikir linier “sukses jika menjadi PNS” sejatinya telah terkontruksi sekian lama dalam sistem pendidikan yang lebih berkutat pada “belajar untuk mengetahui” (learning to know). Meski prinsip “belajar untuk bertindak” (learning to do), “belajar untuk mandiri” (learning to be), dan “belajar untuk hidup bersama” (learning to live togheter) telah diakui, namun justru jarang dipraktikkan. Implikasinya, output pendidikan tidak memiliki kecakapan hidup (life skill) yang memadai untuk dikembangkan demi mencapai kemandirian. Maka, wajarlah bila output pendidikan terjebak dalam kubangan pengangguran terdidik (hlm. 99-102).
Melalui buku ini Dharmawan menyerukan agar kita bisa “membuka mata”. Serangkum kisah nyata kesuksesan sejumlah orang yang digapai melalui jalur kerja non-PNS (hlm. 165-176), di samping menjadi kelebihan tersendiri buku ini, juga kian meneguhkan makna bahwa hidup yang keras dan penuh tantangan ini perlu ditaklukkan bukan dengan melulu menerima gaji bulanan.
Kisah-kisah itu tidak dikulik apa adanya, akan tetapi disajikan lengkap dengan proses perjuangan subjek yang tak kenal lelah, bahkan hingga berdarah-darah. Profesi mereka beragam. Ada yang bergelut di ranah pembibitan tanaman, pengusaha tempe, pengusaha barang-barang bekas, dan sebagainya. Jenis profesi yang mungkin kerap dipandang sebelah mata, tetapi justru mampu mengangkat eksistensi dan status sosial yang bersangkutan menjadi dihormati. Dari profesi itu, mereka malah telah menciptakan lapangan kerja dalam konteks pemerataan kesejahteraan demi kemakmuran bersama.
Atas dasar itulah, buku yang sebagian besar juga disarikan dari pengalaman Dharmawan selaku pribadi sukses bukan dari jalur PNS ini semakin terasa signifikansinya. Buku ini tidak hanya menawarkan opini, tetapi juga inspirasi yang membangkitkan, sehingga sayang sekali bila dilewatkan.

My God My Love



SEBAB untuk membaca peta langit, seseorang harus terlebih dulu menyeka airmata bumi.

Begitulah, seperca sajak Keranda Cahaya yang diteluhkan Ilung S. Enha di ufuk senjakala untuk mengawal karib spiritualnya, Zainal Arifin Thoha, menanggalkan kesementaraan bumi menuju langit keabadian pada 14 Maret 2007 silam.

Selajur Keranda Cahaya itu merupakan jelma pemberontakan Ilung terhadap arus utama spiritualitas. Selama ini ruang-ruang spiritualitas disesaki dengan doktrin purba sufistik yang cenderung elitis-egosentris. Disebut demikian karena spiritualitas diasumsikan berada di menara gading di mana proses lelaku di dalamnya berkelok-liku penuh rambu-rambu.

Proses lelaku spiritualitas itu tak jarang dilakoni dengan menihilkan interaksi humanis dalam konteks sosial-kemasyarakatan. Maka, di sinilah ditemu jawaban kenapa para pelaku spiritualitas (salik) acapkali acuh dengan dinamika lingkungan sekitar (baca: jazab) disebabkan oleh ekstase dalam kerinduan personal dengan Tuhan.

Padahal, senyatanya tidaklah begitu. Posisi manusia sebagai hamba Tuhan (abdullah) dan representasi fungsi ketuhanan di muka bumi (khalifatullah) mesti berjalan seirama. Segendang sepenarian. Masing-masing tak boleh saling menegasikan. Interaksi vertikal dan horizontal lantas menjumbuhkan misi agung yang berdenyar saban waktu di atas altar kemanusiaan. Inilah substansi spiritualitas yang membumi: spiritualitas keseharian.

Dan, Ilung melalui buku bertudung My God My Love ini telah mengekalkan proposisi itu. Ia memantik suluh penerang untuk menyibak spiritualitas yang remang-remang. Tentu, ia tak hanya melempar wacana. Gagasan spiritualitas keseharian yang diusung buku ini ia rajut dari serpih-serpih kontemplasi dan pengalaman rohani serta dibalurkan dengan kelenturan pergaulan sosial.

Pergaulan yang luas menjadikannya sosok solider, bisa diterima di seluruh lapisan sosial masyarakat, mulai kaum pinggir terminalan hingga elite perkotaan. Dalam pergaulan itulah ia mengejawantahkan secara reflektif olah batin dan daya karsa spiritualitas yang disadap dari nira ayat-ayat ketuhanan. Sosoknya yang nyentrik melampaui sekat-sekat spiritualitas yang selama ini riuh dengan beragam atribut religiusitas simbolistis.

Secara tersirat, hal itu mendedahkan makna bahwa menyusuri lorong-lorong spiritualitas tak harus dipadu dengan simbol-simbol verbalistik semisal tazakur masal dengan berkopyah dan berkalung sorban. Muara spiritualitas adalah kejernihan hati, sehingga dengan demikian sinyal-sinyal kearifan yang terpancar dari wahyu yang kudus dapat disebarluaskan secara merata dalam jejaring kemanusiaan horizontal.

Dengan trengginas Ilung membuka cara pandang baru bagi para penempuh spiritualitas pemula untuk menihilkan kisah-kisah besar tokoh spiritualitas. Sebab, kisah-kisah itu tanpa disadari akan menjadi standar perbandingan dan ukuran keberhasilan menempuh spiritualitas. Kisah-kisah itu meruang-waktu, sehingga dibutuhkan kearifan untuk menimbang ulang. Dengan cara ini, penempuh spiritualitas pemula bisa memulai lelaku dengan lebih lempang (hlm. 10).

Untuk memasuki lorong spiritualitas, mainstream yang berkembang mengharuskan proses tahapan hirarkis: syariat-tarekat-hakikat-makrifat. Diyakini sebagian tokoh spiritualitas bahwa tahapan tersebut adalah jenjang bertingkat yang berakibat bisa menafikan segala taklif religiusitas di bawahnya.

Bagi Ilung, konsepsi demikian patut dirombak. Tahapan tersebut tidak bersifat hirarkis, melainkan sebuah proses satu lingkar perjalanan memutar, sehingga tahapan satu tidak melingkupi yang lain akan tetapi saling melengkapi. Dengan begitu, interaksi vertikal (habl minallah) dan horizontal (habl minannas) bisa tergali lebih optimal (hlm. 31-52).

Interaksi vertikal-horizontal ini pula yang harus dikemas sesuai dengan konteks kekinian. Seturut Ilung, dogma zuhud yang mengental dalam ranah doktrinal spiritualitas telah melahirkan konsepsi bahwa penempuh spiritualitas mesti beruzlah, menyepi dari karut-marut duniawi. Tentu, di era modernitas paradigma uzlah sepatutnya digeser dari uzlah fisik ke arah uzlah hati.

Kehadiran buku ini melengkapi sketsa pemikiran Ilung yang terhampar dalam buku sebelumnya, Diary untuk Tuhan. Dalam buku itu, ia memaparkan pergulatan panjang keresahan sekaligus kerinduan dan kecintaan kepada Tuhan. Dengan rasa bahasa yang masih kental dengan nuansa sastra, di buku ini ia mengurai kembali rindu dan cinta itu dalam bingkai spiritualitas kontekstual.

Berbeda dengan buku-buku spiritualitas lain yang kebanyakan bertutur tentang spiritualitas secara teoritis, buku ini beranjak lebih jauh. Wacana spiritualitas tidak sekadar dihamparkan, akan tetapi dikaji dengan kritis untuk direkonstruksi, sehingga kesan menempuh spiritualitas yang rumit dan berbelit-belit segera runtuh. Inilah kontribusi Ilung yang laik diapresiasi. Karena itu, sangat masuk akal jika tak lama lagi narasi adiluhung buku ini segera tayang di layar kaca.

Lebih dari itu, buku ini pun layak dikategorikan sebagai buku panduan reflektif bagi para penempuh spiritualitas pemula. Di tangan Ilung, spiritualitas yang dianggap sebagian orang sebagai sesuatu yang berat menjadi ringan dan begitu santai.

Ibarat cangkrukan di warung kopi, Ilung membabarkan rute spiritualitas yang guyup. Para penempuh spiritualitas pemula bisa berangkat dari titik eksistensi masing-masing tanpa perlu sama sekali membawa atribut yang melekat pada dirinya. Di sanalah mereka berjumpa, saling menimba pengetahuan dan pengalaman spiritual. Sungguh, wisata rohani yang menenteramkan hati: berspiritualitas ala warung kopi. (*)

Rabu, 05 Agustus 2009

Resensi buku


Judul : Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam dalam Kenangan
Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit : Pustaka Jaya
Tebal : 1330 halaman
Cetakan : Januari 2008

Ajip Rosidi memang tokoh luar biasa. Ia bukan orang baru dalam jagat sastra Indonesia. Pemikirannya telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi sastra dan kebudayaan Indonesia. Namun siapa sangka, guru besar tamu pada Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing), Jepang, ini bahkan tidak memiliki ijazah sekolah menengah.
Itulah salah satu kisah hidup yang disampaikan oleh Ajip Rosidi dalam buku Hidup Tanpa Ijazah ini. Di dalam buku ini Ajip mengisahkan, alasan mengapa ia tidak memiliki ijazah sekolah menengah.

Kejadiannya bermula ketika ujian nasional sekolah menengah ditahun 1956, dikabarkan sering mengalami kebocoran soal. Banyak orang yang dapat memperoleh soal ujian sebelum waktu ujian tiba. Tentu saja, caranya dengan menyogok guru sekolah.
Dari kenyataan inilah Ajip Rosidi memilih untuk tidak mengikuti ujian sekolah menengah. Baginya, hidup tidak harus digantungkan pada secarik kertas bernama ijazah. Prestasi kerja, kemampuan dan pengakuan masyarakat terhadap seseoranglah yang dapat menentukan seseorang dapat bekerja atau tidak.

Oleh karena itu, Ajip yang saat itu sudah memperoleh pengalaman mengajar dan menulis sastra, merasa tidak memerlukan ijazah lagi. Ia ingin membuktikan bahwa seseorang dapat hidup tanpa ijazah. Keinginannya tersebut ia kemukakan kepada kepala sekolahnya.

Dari sisi yang lain, Ajip dapat digolongkan sebagai seseorang yang berani untuk mengungkapkan gagasan dan opininya mengenai sesuatu. Ia selalu bicara langsung pada inti persoalan, tanpa ditutup-tutupi, jika ada hal yang ingin disampikan. Ia bahkan seperti tidak memedulikan siapa orang yang sedang diajaknya bicara. Apalagi kalau dirinya yakin apa yang dikemukakannya adalah sesuatu yang benar.

Misalnya saja ketika ia mengungkapkan ketidaksetujuannya perihal roman psikologis yang disampaikan oleh guru Kesusateraan Indonesia di sekolah menangah. Ketika itu Ajip mengemukakan argumentasinya. Namun belum selesai ia bicara, guru tersebut membentak dan menyuruhnya keluar. Sayang, pada bagian ini Ajip tidak menceritakan kelanjutan peristiwa tersebut. Apakah ia benar-benar keluar dari kelas, atau tetap berada di dalam kelas dan mempertahankan argumentasinya.

Keberanian Ajip tersebut terus terbawa saat ia berkiprah sebagai satrawan. Misalnya saja ketika ia menuliskan karangannya di Sipatahaoenan. Ketika karangan tersebut dimuat, reaksi yang muncul sungguh di luar dugaan. Kala itu ia mendapat serangan dari banyak sastrawan Sunda. Namun semua itu ditanggapinya dengan nada mengolok-olok. Tujuan Ajip tentu bukan sekadar mengolok-olok, tetapi ia ingin ada geliat baru dalam kesusatraan Sunda.

Nada serupa juga terlihat ketika Ajip menanggapi rencana rektor Universitas Padjadjaran untuk memberikan gelar penghormatan. Namun hingga melewati batas waktu yang direncanakan, tidak juga ada kejelasan soal pemberian gelar kehormatan tersebut. Akhirnya, pidato yang dipersiapkan untuk menerima gelar kehormatan itu dimasukkan ke dalam buku yang diterbitkan untuk menyambut 70 Tahun Romo dick Hartoko yang sudah dikenalnya sejak lama.
Menanggapi ketidakjelasan tersebut, Ajip Rosidi mengatakan bahwa ia tidak memerlukan gelar penghargaan. Selama ini ia sudah hidup cukup baik tanpa gelar apa pun. Ketika temannya meminta Ajip untuk menelusuri surat rahasia dari Menteri Pendidikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi, Ajip menolak dan dengan tegas. Ia mengatakan, dirinya tidak membutuhkan gelar itu. Bagi Ajip gelar tersebut tidak banyak artinya. Gelar kehormatan itu tidak akan menaikkan gajinya di Jepang, dan tidak akan membuatnya lebih terkenal.

Salah satu gagasan penting Ajip Rosidi dalam kesusasteraan adalah pemberian penghargaan Rancage. Hadiah ini diberikan khusus kepada karya-karya sastra berbahasa daerah. Pada awalanya penghargaan tersebut hanya diberikan kepada karya sastra Sunda. Namun pada perkembangannya, hadiah Rancage tidak hanya diberikan kepada sastra berbahasa Sunda, tetapi juga bahasa daerah lainnya seperti Sastra Jawa dan Sastra Bali.

Ajip mejelaskan, pemberian hadiah Rancage adalah semata-mata untuk menunjukkan bahwa kerja keras para penulis sastra daerah mendapat perhatian yang layak, dan dihargai. Kata Rancage sendiri diambil dari carita pantun yang berarti aktif-kreatif.

Di samping gagasan dalam sastra dan kebudayaan, hal yang juga menarik dari buku ini adalah penggalan-penggalan cerita dari sejumlah orang yang pernah berinterkasi dengan Ajip. Mereka bisa keluarga, kerabat, satrawan, pejabat atau tokoh politik yang pernah bertemu dengannya. Dari sinilah pembaca dapat mengetahui kisah-kisah yang bersifat human interest dari tokoh tersebut.

Salah satu orang dikisahkan oleh Ajip adalah Pramoedya Ananta Toer. Dalam buku ini Ajip memaparkan bahwa Pramoedya adalah orang yang sangat egosentris. Buktinya Pramoedya mengajak istrinya untuk tidak tinggal bersama mertuanya. Meskipun mertuanya adalah orang kaya yang memiliki banyak rumah, namun Pramoedya memilih untuk tinggal di rumah petak beralas tanah di kawasan Rawamangun, Jakarta, bersama istrinya. Padahal, menurut Ajip, mungkin baru saat itulah Maemunah, istri Pramoedya, untuk pertama kalinya tinggal di rumah beralas tanah.

Masih kisah di seputar Pramoedya, Ajip menceritakan bagaimana di masa Pram mengalami krisis keuangan, ia mendapat order untuk menerjemahkan karya utama Maxim Gorky, Ibunda. Menurut Ajip, tidak mengherankan jika Pramoedya sampai beranggapan bahwa orang yang membantunya ketika mengalami kesulitan adalah orang kiri. Hal ini terjadi ketika sejumlah majalah tidak mau lagi memuat tulisan-tulisannya, dan beberapa penerbit mengembalikan hak penerbitannya serta berhenti mencetak buku-buku Pram.Buku Hidp Tanpa Ijazah ini memang menarik untuk dibaca. Gaya bertutur Ajip yang khas, tulisan yang enak dibaca, dan isi yang kaya, membuat pembaca tidak bosan untuk membaca buku ini hingga akhir, seperti menyusuri lorong kenangan yang sarat dengan kisah dan cerita hidup