Minggu, 09 Agustus 2009

Gagal Jadi PNS Jadi Bos


Judul Buku : Gagal Jadi PNS Jadi Bos
Penulis : Rus Dharmawan
Penerbit : Kreasi Wacana, Yogyakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : xxii+198 halaman

SEKISAR sebulan belakangan ini, terjadi gelombang tsunami pencari kerja yang luar biasa setelah dipicu oleh dibukanya lowongan penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sejumlah instansi pemerintahan. Rupanya status PNS masih menjadi sihir ajaib yang menghipnotis sebagian besar alam berpikir masyarakat.

Bayang-bayang terjaminnya hari-tua nanti merupakan salah satu faktor yang melejitkan animo menjadi PNS. Semangat masyarakat mengikuti seleksi PNS selain didorong oleh persepsi bahwa menjadi pegawai negeri adalah simbol kebanggaan, juga hingga saat ini menjadi pegawai negeri masih identik dengan investasi masa depan yang cemerlang. Jika sudah bekerja sebagai pegawai negeri tentunya tak lagi dirisaukan oleh ancaman pemutusan hubungan kerja sebagaimana bekerja di instansi swasta.
Padahal, jika ditilik lagi, formasi yang dibuka sebetulnya jauh dari memadai bila dibandingkan dengan begitu banyaknya jumlah peserta tes PNS. Bisa diibaratkan, “satu kursi” diperebutkan oleh puluhan, bahkan ratusan peserta tes. Tentu dapat dibayangkan, peluang untuk lolos tak ubahnya mencari jarum di atas tumpukan jerami. Dengan kata lain, mengandalkan peruntungan alias nasib mujur.
Buku Gagal Jadi PNS Jadi Bos karya Rus Dharmawan ini hadir pada saat yang tepat. Buku ini memotret dari sisi lain animo menjadi PNS yang masih dominan sekaligus menawarkan wacana antitesis terhadapnya: bahwa kesuksesan tidak diukur dari apabila seseorang telah menjadi PNS. Dharmawan memang tidak bermaksud meruntuhkan animo tersebut, hanya saja ia mencoba menyuguhkan diskursus pembanding bahwa menjadi PNS bukanlah skala prioritas menggapai sukses. Alih-alih demikian, justru masih banyak pekerjaan lain yang menjanjikan dengan status sosial-ekonomi yang cukup mapan.
Diawali dengan pemetaan status PNS dalam bentangan sejarah, Dharmawan menemukan fakta bahwa telah terjadi pergeseran aksiologis-filosofis citra PNS. Secara status, citra PNS era 80-90-an memang masih “disegani”, tapi dalam kalkulasi ekonomi justru koyak-moyak ketika krisis finansial global menghantam sendi-sendi perekonomian negara Dunia Ketiga di penghujung abad ke-19 (hlm. 49-60).
Dharmawan mengajukan sejumlah fakta empirik bahwa penghasilan pegawai jauh dari memadai di zaman modern ini. Bahkan beberapa orang lantas menggadaikan SK Pengangkatan PNS sebagai solusinya. Sebuah solusi yang sebenarnya bisa menjadi bom waktu sebab terjadi stagnasi penghasilan di tengah meroketnya nilai-nilai kebutuhan yang cukup drastis.
Fenomena inilah yang kurang disadari oleh mereka yang ingin menjadi PNS. Bayangan yang muncul hanyalah kenikmatan kemapanan ekonomi yang sejatinya semu belaka dan sama sekali “tidak menantang”. Karena itu, tak jarang mereka dilanda stress berkepanjangan ketika tak lulus ujian.
Dengan bahasa yang halus, jauh dari kesan menggurui, dan argumentasi yang disandarkan pada beragam kasus nyata, Dharmawan mengajak kita untuk menimbang ulang histeria cita-cita menjadi PNS sekaligus mengubah pola pikir dalam menggapai sukses.
Pola pikir linier “sukses jika menjadi PNS” sejatinya telah terkontruksi sekian lama dalam sistem pendidikan yang lebih berkutat pada “belajar untuk mengetahui” (learning to know). Meski prinsip “belajar untuk bertindak” (learning to do), “belajar untuk mandiri” (learning to be), dan “belajar untuk hidup bersama” (learning to live togheter) telah diakui, namun justru jarang dipraktikkan. Implikasinya, output pendidikan tidak memiliki kecakapan hidup (life skill) yang memadai untuk dikembangkan demi mencapai kemandirian. Maka, wajarlah bila output pendidikan terjebak dalam kubangan pengangguran terdidik (hlm. 99-102).
Melalui buku ini Dharmawan menyerukan agar kita bisa “membuka mata”. Serangkum kisah nyata kesuksesan sejumlah orang yang digapai melalui jalur kerja non-PNS (hlm. 165-176), di samping menjadi kelebihan tersendiri buku ini, juga kian meneguhkan makna bahwa hidup yang keras dan penuh tantangan ini perlu ditaklukkan bukan dengan melulu menerima gaji bulanan.
Kisah-kisah itu tidak dikulik apa adanya, akan tetapi disajikan lengkap dengan proses perjuangan subjek yang tak kenal lelah, bahkan hingga berdarah-darah. Profesi mereka beragam. Ada yang bergelut di ranah pembibitan tanaman, pengusaha tempe, pengusaha barang-barang bekas, dan sebagainya. Jenis profesi yang mungkin kerap dipandang sebelah mata, tetapi justru mampu mengangkat eksistensi dan status sosial yang bersangkutan menjadi dihormati. Dari profesi itu, mereka malah telah menciptakan lapangan kerja dalam konteks pemerataan kesejahteraan demi kemakmuran bersama.
Atas dasar itulah, buku yang sebagian besar juga disarikan dari pengalaman Dharmawan selaku pribadi sukses bukan dari jalur PNS ini semakin terasa signifikansinya. Buku ini tidak hanya menawarkan opini, tetapi juga inspirasi yang membangkitkan, sehingga sayang sekali bila dilewatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar