Jumat, 24 Desember 2010

Orientalisme

Judul: Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek
Penulis: Edward W. Said
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, April 2010
Tebal: 558 halaman

Relasi peradaban manusia dewasa ini terasa timpang. Ada yang menguasai dan dikuasi, ada yang di “atas” dan di “bawah”, ada yang superior dan inferior. Relasi timpang ini hadir dengan konstruksi yang kompleks, sehingga sulit merekayasa rekonstruksi baru peradaban yang setara dan sederajat. Gerakan politik yang diharapkan mampu membuka jendela peradaban yang sejajar, tetapi justru hadir dengan wajah yang tidak manusiawi dan hegemonic. Perseteruan antar faksi politik kerap kali membuat gejolak global makin panas dan penuh bias kepentingan.

Timpang relasi peradaban ini bisa terlihat dalam gejolak global antara Timur dan Barat. Timur diklaim sebagai peradaban yang kalah, inferior, dan terbelakang (underdevelopment), sementara Barat hadir dengan wajahnya yang superior, superhero, dan “pemenang”. Relasi timpang ini bukan sekedar terwujud dalam bentuknya yang wadag, tetapi juga merasuk dalam ruang kesadaran yang paling endemic. Tak pelak, konflik Barat versus Timur masih terus berlangsung secara kolosal dalam beragam bidang kehidupan.

Ketimpangan inilah yang selalu di”lawan” oleh Edward W. Said. Lewat karyanya yang masyhur ini, Orientalisme, Said menjadi “juru bicara” timur yang paling berani menggugat hegemoni Barat. “Juru bicara” Timur yang lahir di tanah Yerussalem pada 1 November 1935, tepatnya di daerah Talbiyah (sebuah kawasan terpencil di Palestina Barat) ini, sangat berani melakukan dekontruksi terhadap ketimpangan yang terjadi dalam peradaban global.

Walaupun akhirnya Said hijrah ke Amerika Serikat, bukan berarti Said justru menjadi bagian superioritas AS yang menghegemoni bangsanya, Palestina, tetapi Said justru semakin menggebu untuk melakukan kritik peradaban bagi bangsa Barat sendiri. Palestina sebagai “negeri tak bertuan” yang dalam sekujur tubuhnya selalu dibaluti konflik dan darah itu menjadikan Said terasa perih melihat nasib bangsanya yang terlunta-lunta akibat bias kepentingan yang terus menyulut api konflik.

“Orientalisme” hadir bukan sekedar ingin membela bangsanya an sich, tetapi merupakan wujud pembelaan Said atas bangsa Timur yang selalu dibilang kalah dan terbelakang. Said “tidak rela” dengan beragam istilah yang terus membuat Timur minder. Walaupun lahir pada awal abad ke-20 dengan status pasca colonial dari hegemoni Barat, bagi Said, itu bukanlah berarti Timur merupakan daerah eks jajahan yang harus mengekor dengan “tuan” yang telah pergi setelah menindas. Timur, bagi Said, adalah independen, mempunyai basis kebudayaan sendiri, berkembangan dengan nalar identitasnya sendiri, dan berjuang meraih keteraan dengan perjuangannya sendiri.

Watak kebudayaan haruslah berjalan sesuai dengan ruh dan identitas asalnya. Menjiplak dan plagiat atas identitas kebudayaan lain hanya akan mereduksi identitas kebudayaan itu sendiri. Bangsa Timur, walaupun lahir pasca kolonialisasi, tetaplah mempunyai basis kebudayaan sendiri yang bisa menjadi pegangan dalam menciptakan kebudayaan dan peradaban luhur. Superioritas yang diproklamasikan Barat, bagi Said, sama sekali tidak menjadi penghalang Timur untuk membangun jati dirinya yang sejajar dan setara dengan peradaban manapun, termasuk dengan Barat.

Pemikiran Said ihwal kesejajaran peradaban inilah yang sekarang juga dikembangkan oleh aktivis studi postcolonial di berbagai Negara berkembang eks-kolonial. Aktivis post colonial mengembangkan kajian Said bahwa kaum post-kolonial, walaupun mereka masyarakat subaltern, akan tetapi mereka sebenarnya mempunyai jejak sejarah sendiri yang mandiri, dan tak mau diintervensi oleh pihak lain, karena intervensi lain hanya akan mengebiri otentisitas kebudayaan sendiri. Pasca kolonialisasi, kaum subaltern tidak lagi harus bersifat inferior, karena peradaban ternayta dibangun oleh mereka juga. Peradaban Barat yang megah saat ini tak akan bisa berdiri, karena peradaban lahir karena hasil interaksi satu dengan yang lain. Kepemilikan yang “abstrak” dan ‘asal jiplak” yang dilakukan Barat haruslah didekonstruksi, sehingga terjadi dialektika peradaban yang sejajar dan beradab.

Kesejajaran yang berkembang dewasa ini menjadi indikasi kuat bahwa Timur dan Barat saling bertentangan hanyalah karena politik imagologi yang dijalankan Barat untuk mengukuhkan superioritasnya saja. Politik imagologi Barat dengan sepenuh pencitraan yang dilakukan merupakan bukti betapa Barat telah menginginkan kekuasaan secara “rakus”, sampai saudara sendiri sesame manusia harus mereka “kalahkan”, tak lain untuk menuruti bias nafsu serakah yang lahir dariu rahim kebudayaan yang pongah. Orientalisme karya Said ini juga mencoba membangun citra yang kuat bagaimana Timur juga mampu menjadi bagian inti dalam penciptaan peradaban dunia.

Walaupun sampai sekarang Palestina dan bangsa Timur lain masih belum mencapai kemajuan sebagaimana Barat, dan Said sendiri juga sudah meninggal pada 25 September 2003, tujuh tahun yang lalu, tetapi ruh buku “Orientalisme” tetap menjadikan perjuangan bangsa Timur tak akan pernah surut. Terbukti sampai sekarang bangsa Timur terus mengalami perkembangan dan kemajuan signifikan, baik dalam proses demokratisasi dan pembangunan ekonomi. Ini bukti bahwa ruh perjuangan Said masih terus menjadi pergerakan bangsa Timur di masa mendatang (onnoy).

Sajak Rindu Bagi Rosul

Judul Buku: Sajak Rindu Bagi Rasul
Editor: Jabrohim, dkk.
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, 2010
Tebal: 326 halaman

Manusia dibekali Tuhan dalam mengarungi kehidupan dengan empat kemampuan dasar, yaitu rasio, imajinasi, hati nurani, dan sensus numinis. Rasio diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Imajinasi diberikan kepada manusia untuk mengembangkan kemampuan estetika. Hati nurani diberikan kepada manusia untuk mengembangkan kemampuan moralitas. Sensus numinis diberikan kepada manusia untuk mengembangkan kesadaran ilahiah.

Keempat kemampuan dasar tersebut, termuat oleh agama sebagai suatu sistem nilai yang dilegitimasi sebagai fitrah manusia. Keempat kompetensi dasar itu secara bersamaan dapat dipakai untuk menemukan kebenaran tertinggi, yaitu kebenaran tentang teologi. Rasa dan seni juga merupakan salah satu fitrah manusia yang dianugerahkan Tuhan yang harus dipelihara dan diimplemantasikan dengan baik, sesuai dengan ketentuan yang disabdakan oleh agama sendiri, bahwa Tuhan Maha Indah dan mencintai keindahan.

Mencipta dan menikmati karya sastra, dalam berbagai agama memiliki kedudukan tinggi. Menurut Islam, mencipta dan menikmati karya sastra ditempatkan sebagai sesuatu yang sangat diperbolehkan (dianjurkan). Hukum mubah bagi kegiatan mencipta dan menikmati karya seni tersebut masih disertai dengan sejumlah persyaratan. Persyaratan itu merupakan rambu-rambu bagi proses penciptaan dan penikmatan karya seni.

Rambu-rambu bagi proses penciptaan dan penikmatan itu meliputi “Menciptakan dan menikmati karya sastra hukumnya mubah selama tidak mengarah mengakibatkan fasad (kerusakan), dharar (bahaya), isyan (kedurhakaan), dan ba’id ‘anillah (menjauh dari Tuhan).

Fasad (merusak) maksudnya mencipta dan menikmati karya sastra yang berakibat merusak, baik merusak orang yang menciptakanya maupun merusak orang lain bahkan lingkunganya (termasuk di dalamnya merusak aqidah, merusak ibadah, dan merusak hubungan sosial). Darar (bahaya) maksudnya mencipta dan menikmati karya sastra
yang menimbulkan bahaya pada diri orang yang menciptakan maupun pada orang yang menikmatinya. Isyan (kedurhakaan) maksudnya mencipta dan menikmati karya sastra yang mengakibatkan atau mendorong pada pelanggaran-pelanggaran, seperti pelanggaran hukum agama, kedurhakaan kepada Allah, kedurhakaan kepada orang
tua, kedurhakaan suami bagi keluarganya. Bai’id ‘anillah (jauh dari Allah) maksudnya mencipta dan menikmati karya sastra yang menyebabkan jauh dari Allah atau menghalangi pelaksanaan ibadah.

Selain memperhatikan rambu-rambu tersebut, menulis sastra akan lebih komperhensif dan sarat nilai, bila dikorelasikan dengan empat kompetensi dasar fitrah manusia. Sajak rindu bagi Rasul yang ditulis Ahmadun Yosi Herfanda (hal. 23) misalnya, ia mengingatkan kita pada sosok Muhammad sebagai pemimpin ideal, transformatif, dan bervisi kemajuan.

Minggu, 28 November 2010

ILUSI NEGARA ISLAM

Judul Buku : ILUSI NEGARA ISLAM, “Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”.

Penulis : (KH. Abdurrahman Wahid : editor, Ahmad Syafii Maarif : Prolog, KH.Mustofa Bisri : Epilog)

Penerbit : The WAHID Institute

Jumlah halaman : ±400 halaman

Harga : Rp.90.000,00/Diskon 20%


Buku kontroversial kembali hadir di Indonesia. Setidaknya bagi sekelompok orang. Karena di beberapa daerah buku ini sudah masuk dalam daftar hitam (black list) dan dirazia di sejumlah toko2 buku yang menjualnya. Buku ini kalau dilihat dari judulnya, memang dengan tegas dan gamblang membidik kalangan tertentu dalam masyarakat Indonesia ini. Dan targetnya pun jelas. Lagi-lagi PKS berada dalam salah satu pembahasan di buku tersebut.

Buku ini disajikan oleh 3 orang, yaitu Gus Dur sebagai editor, Syafi’i Maarif sebagai penulis prolog dan Gus Mus sebagai penulis Epilog. Buku ini sendiri diterbitkan oleh Wahid Institute, Maarif Institute dan gerakan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam pengantarnya, Gus Dur menyatakan bahwa buku ini merupakan hasil penelitian selama lebih dari 2 tahun.

Melihat waktu yang lama tersebut, penulis dan penerbit memang sangat serius dalam menerbitkan buku ini. Sorotan yang tajam dan terbuka ini, tak pelak akan menimbulkan kontroversi yang luar biasa. Khususnya bagi mereka2 yang terkena “tembak” dari buku ini. Cepat atau lambat, saya kira pasti akan terjadi reaksi yang lebih besar atas terbitnya buku ini. Semoga reaksinya juga dengan menerbitkan buku yang menentang atapun menyanggah apa yang ada dalam tulisan2 tersebut. Bukan dengan otot dan kekerasan.

NU dan Muhammadiyah merupakan 2 organisasi Islam yang dengan terang2an menolak Islam garis keras ini dan bahkan Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan tentang ” pembersihan” muhammadiyah dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Apakah ini murni permasalahan ke bhinnekaan yang terancam, ataukah lebih jauh ini merupakan permasalahan politik semata yang akhir2 ini PKB dan PAN suaranya terus merosot sedangkan PKS suaranya lumayan stabil atau boleh dikatakan naik. Ataukah kedua2nya ? Wallohu ‘alam.

Yang jelas, negara kita adalah NKRI dan tidak bisa ditawar lagi.

*Dapatkan buku ini hanya di toko buku JAP, Jl.Dr.Soeparno Karang Wangkal, kelurahan Grendeng-Purwokerto. Telpon (0281) 9117236

QUO VADIS KEK

Judul Buku : QUO VADIS, “Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)”

Editor : Syarif Hidayat & Agus Syarip Hidayat

Penerbit : Rajawali Pers

Jumlah halaman : ±250 halaman

Harga : Rp.58.000,00/Diskon 20%


Keberhasilan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau sebaliknya, dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain : Pertama, keseimbangan ekonomi makro, khususnya nilai tukar uang yang mencerminkan keseimbangan pasar. Kedua, lokasi geografis memiliki arti penting dalam hal akses ke pasar ekspor dan kaitan dengan ekonomi domestik. Ketiga, skema insentif yang ditawarkan. Keempat, manajemen kawasan yang efektif dan efisien. Kelima, jaringan infrastruktur dan fasilitas publik yang berkualitas dan memadai. Keenam, keterkaitan dengan ekonomi domestik.

Buku QUO VADIS Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ini menyajikan informasi dan analitis kritis tentang prinsip-prinsip dasar KEK, pengalaman negara-negara lain dalam implementasi KEK, serta peluang dan tantangan bagi pelaksanaan KEK di Indonesia. Pesan yang ingin di sampaikan oleh para penulis dalam buku ini sangat jelas : bahwa komitmen pemerintah Indonesia untuk melaksanakan KEK patut untuk didukung, namun dalam merealisasikannya disarankan agar tidak semata-mata didasarkan pada “hitung-hitungan” atas peluang dan keuntungan yang dijanjikan oleh KEK, tetapi juga harus “menimbang” kenyataan yang ada.


*Dapatkan buku ini hanya di toko buku JAP, Jl.Dr.Soeparno Karang Wangkal, kelurahan Grendeng-Purwokerto. Telpon (0281) 9117236

Pemberontakan Guru

Judul Buku : PEMBERONTAKAN GURU, Menuju Peningkatan Kualitas

Penulis : Prof.Dr.Harsono, dkk

Penerbit : Pustaka Pelajar

Jumlah halaman : ±200 halaman

Harga : Rp.25.000,00/Diskon 20%




Pembaruan di bidang pendidikan tidak akan terjadi tanpa dibarengi pembaruan di bidang politik dan hukum. Merobohkan tembok yang dibuat untuk mengebiri hak warga negara dalam menerima pendidikan sebenarnya tidaklah sulit. Namun, untuk merobohkan tembok, pemerintah memerlukan perangkat hukum yang kuat dan efektif, dengan aparat yang memiliki kepekaan nurani tajam akan adanya ketidakadilan. Tak seorangpun di negeri ini memiliki hak warga negara untuk memperoleh pendidikan.


Dapatkan buku ini hanya di toko buku JAP, Jl.Dr.Soeparno Karang Wangkal, kelurahan Grendeng-Purwokerto. Telpon (0281) 9117236

Jumat, 11 Juni 2010

buletin JAP


Gambar Buletin JAP yang di terbitkan

Rabu, 03 Februari 2010

Resensi Buku Mahatma Gandhi


Judul Buku : SEMUA MANUSIA BERSAUDARA
Penulis : Mahatma Gandhi
Penerbit : Yayasan obor Indonesia-Yogyakarta
Jumlah Hlm : 350 hlm
Harga :Rp.70.000 (diskon 20%)

“Mereka yang berjiwa lemah tak akan mampu memberi seuntai maaf tulus. Pemaaf sejati hanya melekat bagi mereka yang berjiwa tangguh,” (Mohandeas Karamchand Gandhi)

Buku berjudul asli All Men are Brother ini berisikan kisah kehidupan dan pandangan Mahatma Gandhi yang luas dan mendalam tentang kehidupan manusia secara menyeluruh. Banyak hal yang diutarakan oleh Gandhi antara lain tentang Agama dan Kebenaran, Cara dan tujuan, bagaimana mengendalikan diri, apa itu perdamaian dunia, beda manusia dengan mesin, bahwa kemiskinan ada di tengah-tengah kelimpahan, demokrasi dan rakyat, pendidikan, kaum wanita, serta serba-serbi pandangan Mahatma Gandhi lainnya. Semua ini secara lengkap dipaparkan dalam semua manusia bersaudara.
Lahir di Negara bagian Gurajat, India pada 02 oktober 1869, Gandhi pada perkembangannya terpengaruh oleh tulisan-tulisan Tolstoy dan Thoreau. Setelah menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum University College, London (1891), Gandhi membuka praktik hukumnya di Bombay. Tapi sayang, kariernya sebagai pengacara tidak berlangsung lama. Gandhi lantas berangkat ke Durban, Afrika Selatan dan bekerja untuk sebuah biro hokum India. Di sana, ia dan rekan-rekannya mendapat perlakuan sebagai ras yang lebih rendah oleh orang kulit putih Afrika. Gandhi pun segera terlibat dalam membela hak-hak warga india di Afrika Selatan.

Pada 1919, parlemen meloloskan Rowlat Acts yang memberikan kekuasaan darurat kepada pemerintah colonial India untuk menindak aktivis revolusioner. Kebijakan itu memicu demonstasi besar yang menimbulkan pembantaian warga India oleh tentara Inggris di Amritsar. Setiaknya 400 warga India terbunuh dalam insiden itu.

Pada 1947, India dan Pakistan menjadi dua Negara terpisah. Npemisahan ini mengakibatkan kerusuhan yang berkanjut. Gandhi kembali menyerukan perdamaian. Sebuah seruan mulia namun tak semua suka. Pada 30 Januari 1948, ia ditembak Nathuram Godse. Gandhi, sang penyeru perdamaian itu tewas di usia 78 tahun.

Resensi Buku CIKEAS MENJAWAB


Judul Buku : CIKEAS MENJAWAB, Tentang Yayasan-yayasan Cikeas, Tim Sukses SBY-Boediono, dan Skandal Bank Century
Penulis : Garda Maeswara
Penerbit : Narasi-Yogyakarta
Jumlah Hlm : ± 250 hlm
Harga :Rp.36.000 (diskon 20%)


“Kita nggak usah repot-repot dengan adanya komentar, kalo kita tau apa yang kita lakukan itu baik.” (laksamana TNI (purn) Sudomo – Tokoh Orde baru.

“Saya nggak tertarik baca bukunya (Membongkar Gurita Cikeas), isinya selalu kompilasi isu, campuran antara data dan isu sehingga tidak banyak manfaatnya untuk dijadikan data mengambil kebijakan.”Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahmud MD.

“…Tidak dapat disebut sebagai karya ilmiah, melainkan propaganda,” jimmly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mengomentari buku Membongkar Gurita Cikeas

“Itu fitnah 1.000 persen!” Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian menanggapi buku membongkar Gurita Cikeas.

“…buktikan saja, Dulu zaman saya (pemerintahan megawati) juga begitu. Ada Gurita kepresidenan. Saya, Gusdur, dan soeharto mengalaminya.” Taufik Kiemas menanggapi buku Membongkar Gurita Cikeas.

“Di dalam buku itu (Membongkar Gurita Cikeas) disebutkan dengan fakta-fakta yang sepertinya tidak akurat dan tidak mengandung kebenaran yang hakiki. Ini yang di prihatinkan presiden.” Aldrin Pasha – juru bicara Presiden SBY.

Saya mendapat info yang masih sepihak, buku ini merupakan gabungan dari berbagai sumber sekunder, sperti internet, jurnal dan Koran. Data-data ini lkemudian digabung-gabungkan, tidak ada hasil penelitian sendiri,” Amien Rais mengomentari buku Membongkar Gurita Cikeas.

Buku ini seperti itu (Membongkar Gurita Cikeas) hanya dianggap sebagai hiburan, layaknya sinetron mistik dan infotainment.” Anas Urbaningrum – Ketua DPP partai Demokrat.

Sabtu, 23 Januari 2010

Cara Pikir Nabi


Judul : Berpikir Seperti Nabi
Penulis : Fauz Noor
Cetakan : I, 2009
Penerbit : Pustaka Sastra
Tebal : xxiv + 508 halaman

Judul buku “Berpikr Seperti Nabi” sangat menggugah pikiran alam bawah sadar kita. Pasalnya, pertanyaan apakah nabi selama ini berpikir atau tidak masih juga belum dapat dituntaskan. Terdapat keterangan bahwa seluruh perkataan nabi pada dasarnya hanyalah firman Allah. Semantara lisan nabi hanyalah perantara.

Berbagai perbedaan pendapat ada di dalam lingkungan kita. Hal itu bukanlah kenafian dan tidak boleh mengklaim salah sat pihak salah secara mutlak. Masing-masing dari pendapat mempunyai dasar yang kuat. Bahkan semenjak awal kita juga sudah mendapatkan contoh bagaimana para ulama mazhab berbeda pendapat. Mazhab besar Mu’tazilah dan Asy’ariyah saling berbeda pendapat tentang zat Allah SWT.

Mazhab Mu’tazilah menuturkan bahwa Allah tidaklah mempunyai sifat. Alasan yang dikemukakan adalah Kholik (baca : Allah) tidaklah dapat disamakan dengan makhluk. Dalam hal ini makhluk mempunyai sifat, maka agar berbeda, Kholik tidak mempunyai sifat. Pendapat ini sangatlah kuat dasarnya dan tidaklah pantas seseorang menyalahkan dengan serta-merta. Sementara mazhab Asy’ariyah mengemukakan bahwa zat Allah mempunyai sifat. Alasan yang dikemukakan adalah ketika zat melakukan apa-apa berarti mempunyai sifat. Maka dari sinilah dikarenakan zat Allah melakukan sesuatu maka zat Allah dikatakan mempunyai sifat. Pendapat inipun juga tidak boleh dibantah tanpa alasan yang jelas.

Dalam konteks kekinian terdapat juga golongan muslimin yang saling bertolak belakang. Di satu sisi terdapat golongan yang dapat dikata tidak berani berpikir tentang agama dan juga nabi. Apapun yang dilakukan nabi, seperti itulah yang hendaknya dilakukan. Cara berpakaian nabi, cara berbudaya nabi dan sejenisnya menjadi pegangan golongan ini. Sementara di lain sisi terdapat golongan yang selalu berpikir dan kebablasan sehingga terkesan asal-asalan. Golongan ini lebih banyak mengambil inti dari apa yang diajarkan rasul an direlevansikan terhadap zaman dan tempo agama Islam.

Melalui buku inilah Fauz Noor seakan-akan mengajukan gagasannya, yang jika mungkin suatu saat ada sebuah pertanyaan diajukan kepada kedua kelompok di atas yang saling kontra, maka dengan mengetahui cara pikir nabi, seseorang akan dapat memperoleh jawaban yang berbeda dari keduanya. Terlebih dari itu buku ini juga akan menjawab sekian persoalan terkait dengan pertanyaan nabi berpikir atau tidak.

Rabu, 06 Januari 2010

Menjadi guru Inspiratif


Judul buku : Menjadi Guru Inspiratif: Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa
Penulis : Ngainun Na`im
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal buku : xvi + 289 halaman

SETIAP orang, sebenarnya bisa menjadi guru. Tapi, tak dapat disangkal kalau tidak semua orang mampu menjadi guru yang baik, mampu mengobarkan semangat, memberi inspirasi, memancarkan energi, mencerahkan, sekaligus menanamkan pengaruh yang luar biasa hingga bisa membekas sepanjang hidup dalam benak dan jiwa siswa. Padahal, guru yang mampu menginspirasi dan mencerahkan itulah yang saat ini dibutuhkan negeri ini, karena guru semacam itu akan mengantarkan kesuksesan siswa di kelak kemudian hari dan membawa kemajuan bangsa.

Sayang, guru yang inspiratif dan mencerahkan seperti itu tidaklah banyak. Sebagian besar guru tidak jarang hanya guru kurikulum, tidak meninggalkan kesan mendalam di benak para siswa sebab tidak banyak hal penting yang diwariskan. Pendek kata, apa yang diberikan tidak lebih hanya sekedar pengetahuan dan wawasan yang menjadi tugasnya –sosok guru yang hanya patuh pada kurikulum sebagaimana isi buku yang ditugaskan sesuai dengan acuan kurikulum. Guru yang hanya sekedar mengajar tapi tak dapat berperan sekaligus sebagai pendidik. Padahal, untuk mencapai kemajuan dan kesuksesan siswa, jelas-jelas dibutuhkan guru yang tak sekedar mengajar sesuai kurikulum melainkan bisa menginspirasi dan mempengaruhi sekaligus mengubah jalan hidup anak didik menjadi lebih baik. Lebih ironis, tak jarang ada sosok guru justru tampil dengan wajah sangar, menakutkan, dan tak menjadikan murid tumbuh semangat menuntut ilmu.


Fenomena mengenaskan dengan minimnya guru inspiratif di satu sisi dan tak sedikit guru yang justru menakutkan di sisi yang lain itulah yang menggelisahkan penulis buku ini -yang menjadi salah satu staff pendidik di STAIN Tulungagung– tergerak untuk menulis buku Menjadi Guru Inspiratif: Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa dengan harapan untuk memantik spirit dan kesadaran para guru untuk bisa menjadi “sosok yang inspiratif dan mampu mengubah” kehidupan siswa. Karena keberadaan guru inspiratif seperti itu –di mata penulis– yang kini ini menempuh pendidikan S3 Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini bisa mengantarkan murid meraih kehidupan yang bermakna dan berkualitas.

Harapan penulis itu bisa dipahami, karena guru inspiratif adalah guru yang mampu menularkan pengetahuan dan sekaligus menggerakan perubahan dan mempengaruhi siswa. Jadi, guru inspiratif bukanlah sekedar guru kurikulum, tapi mampu mengembangkan potensi dan kemampuan siswa, berpikir kreatif dan mampu melahirkan siswa yang tangguh dan siap menghadapi aneka tantangan dan perubahan (hal. 73). Guru yang tak hanya mengajar sebagai kewajiban sebagaimana ditentukan kurikulum tapi senantiasa berusaha maksimal mengembangkan potensi, wawasan, cara pandang dan orientasi siswa. Karena kesuksesan mengajar seorang guru tak diukur secara kuantitatif dari angka-angka yang diperoleh dalam evaluasi, tetapi bagaimana guru itu memberi sumbangsih yang berarti bagi siswa dalam menjalani kehidupan selanjutnya setelah menyelesaikan masa studi.

Bagaimana menjadi guru yang inspiratif? Ngainun Naim sadar sepenuhnya, menjadi guru inspiratif tidak gampang. Hal itu dikarenakan, guru inspiratif tidak bersifat permanen. Spirit inspiratif -yang dimiliki guru inspiratif– kadang bisa memudar. Tetapi, kalau jiwa guru itu sudah diberkati anugerah inspiratif, yang diperlukan adalah bagaimana ia kemudian selalu berusaha menemukan pemantik atau penyulut spirit inspirasi. Untuk menyulut kembali spirit inspirasi itu, tentu setiap guru punya cara sendiri. Tapi, bagi penulis buku ini setidaknya bisa dibangun dengan tiga elemen; komitmen (berkomitmen selalu menginspirasi siswa), cinta (memiliki kecintaan dalam mendidik) dan memiliki visi.

Dengan peran guru inspiratif yang memiliki komitmen, cinta dan visi itu tentu murid akan mampu terbangkit potensi dan minatnya untuk menguasai pelajaran. Di sisi lain, memiliki sikap dan “semangat tinggi untuk terus maju”, kreatif, tercerahkan dan bahkan termotivasi untuk bisa sukses. Karena guru inspiratif semacam itu memiliki semangat terus belajar, kompeten,ikhlas dalam mengajar, mendasarkan niat mengajar pada “landasan spiritualitas”, total, kreatif, dan selalu berusaha mendorong siswa untuk maju.

Potensi kreatif itulah yang menjadikan guru inspiratif tidak pernah kehilangan cara dan media dalam mendidik. Ia bisa membangun iklim pembelajaran dengan seribu cara. Tak mustahil, jika murid akan selalu merindukan guru semacam itu hadir terus di kelas sehingga kadang tak terasa jika pelajaran yang sudah berlangsung dua jam seperti tidak terasa. Usai pelajaran, murid mendapatkan pencerahan, termotivasi dan pelajaran tertanam dalam benak para siswa. Lebih dari itu, siswa menjadi “inspiratif” sehingga mereka mengalami revolusi diri; berubah lebih baik, mengenal bakat terpendam yang dimiliki dan kreatif.

Buku hasil pergulatan, diskusi dan perenungan penulis ini tak dapat disangkal memberikan sumbangsih yang berarti bagi khazanah pendidikan di negeri ini. Apalagi tuntutan menjadi guru inspiratif tak bisa dinafikan. Maklum, guru adalah penggerak roda peradaban bangsa dan peran guru inspiratif akan membawa kemajuan bangsa kita ke depan. Tak mustahil, jika buku ini patut menjadi sebagai bacaan bagi guru dan orang yang ingin menjadi guru. Sejumlah kisah-kisah inspiratif dalam buku ini pun, tidak ditepis bisa menjadi motivasi dan pembanding bagi guru dalam menghadapi kasus-kasus yang dihadapi untuk menjadikan anak didik tercerahkan dan kreatif. Buku ini pun akan mengantar setiap orang yang punya minat untuk menjadi pendidik akan jadi guru yang menginspirasi.