Jumat, 24 Desember 2010

Orientalisme

Judul: Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek
Penulis: Edward W. Said
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, April 2010
Tebal: 558 halaman

Relasi peradaban manusia dewasa ini terasa timpang. Ada yang menguasai dan dikuasi, ada yang di “atas” dan di “bawah”, ada yang superior dan inferior. Relasi timpang ini hadir dengan konstruksi yang kompleks, sehingga sulit merekayasa rekonstruksi baru peradaban yang setara dan sederajat. Gerakan politik yang diharapkan mampu membuka jendela peradaban yang sejajar, tetapi justru hadir dengan wajah yang tidak manusiawi dan hegemonic. Perseteruan antar faksi politik kerap kali membuat gejolak global makin panas dan penuh bias kepentingan.

Timpang relasi peradaban ini bisa terlihat dalam gejolak global antara Timur dan Barat. Timur diklaim sebagai peradaban yang kalah, inferior, dan terbelakang (underdevelopment), sementara Barat hadir dengan wajahnya yang superior, superhero, dan “pemenang”. Relasi timpang ini bukan sekedar terwujud dalam bentuknya yang wadag, tetapi juga merasuk dalam ruang kesadaran yang paling endemic. Tak pelak, konflik Barat versus Timur masih terus berlangsung secara kolosal dalam beragam bidang kehidupan.

Ketimpangan inilah yang selalu di”lawan” oleh Edward W. Said. Lewat karyanya yang masyhur ini, Orientalisme, Said menjadi “juru bicara” timur yang paling berani menggugat hegemoni Barat. “Juru bicara” Timur yang lahir di tanah Yerussalem pada 1 November 1935, tepatnya di daerah Talbiyah (sebuah kawasan terpencil di Palestina Barat) ini, sangat berani melakukan dekontruksi terhadap ketimpangan yang terjadi dalam peradaban global.

Walaupun akhirnya Said hijrah ke Amerika Serikat, bukan berarti Said justru menjadi bagian superioritas AS yang menghegemoni bangsanya, Palestina, tetapi Said justru semakin menggebu untuk melakukan kritik peradaban bagi bangsa Barat sendiri. Palestina sebagai “negeri tak bertuan” yang dalam sekujur tubuhnya selalu dibaluti konflik dan darah itu menjadikan Said terasa perih melihat nasib bangsanya yang terlunta-lunta akibat bias kepentingan yang terus menyulut api konflik.

“Orientalisme” hadir bukan sekedar ingin membela bangsanya an sich, tetapi merupakan wujud pembelaan Said atas bangsa Timur yang selalu dibilang kalah dan terbelakang. Said “tidak rela” dengan beragam istilah yang terus membuat Timur minder. Walaupun lahir pada awal abad ke-20 dengan status pasca colonial dari hegemoni Barat, bagi Said, itu bukanlah berarti Timur merupakan daerah eks jajahan yang harus mengekor dengan “tuan” yang telah pergi setelah menindas. Timur, bagi Said, adalah independen, mempunyai basis kebudayaan sendiri, berkembangan dengan nalar identitasnya sendiri, dan berjuang meraih keteraan dengan perjuangannya sendiri.

Watak kebudayaan haruslah berjalan sesuai dengan ruh dan identitas asalnya. Menjiplak dan plagiat atas identitas kebudayaan lain hanya akan mereduksi identitas kebudayaan itu sendiri. Bangsa Timur, walaupun lahir pasca kolonialisasi, tetaplah mempunyai basis kebudayaan sendiri yang bisa menjadi pegangan dalam menciptakan kebudayaan dan peradaban luhur. Superioritas yang diproklamasikan Barat, bagi Said, sama sekali tidak menjadi penghalang Timur untuk membangun jati dirinya yang sejajar dan setara dengan peradaban manapun, termasuk dengan Barat.

Pemikiran Said ihwal kesejajaran peradaban inilah yang sekarang juga dikembangkan oleh aktivis studi postcolonial di berbagai Negara berkembang eks-kolonial. Aktivis post colonial mengembangkan kajian Said bahwa kaum post-kolonial, walaupun mereka masyarakat subaltern, akan tetapi mereka sebenarnya mempunyai jejak sejarah sendiri yang mandiri, dan tak mau diintervensi oleh pihak lain, karena intervensi lain hanya akan mengebiri otentisitas kebudayaan sendiri. Pasca kolonialisasi, kaum subaltern tidak lagi harus bersifat inferior, karena peradaban ternayta dibangun oleh mereka juga. Peradaban Barat yang megah saat ini tak akan bisa berdiri, karena peradaban lahir karena hasil interaksi satu dengan yang lain. Kepemilikan yang “abstrak” dan ‘asal jiplak” yang dilakukan Barat haruslah didekonstruksi, sehingga terjadi dialektika peradaban yang sejajar dan beradab.

Kesejajaran yang berkembang dewasa ini menjadi indikasi kuat bahwa Timur dan Barat saling bertentangan hanyalah karena politik imagologi yang dijalankan Barat untuk mengukuhkan superioritasnya saja. Politik imagologi Barat dengan sepenuh pencitraan yang dilakukan merupakan bukti betapa Barat telah menginginkan kekuasaan secara “rakus”, sampai saudara sendiri sesame manusia harus mereka “kalahkan”, tak lain untuk menuruti bias nafsu serakah yang lahir dariu rahim kebudayaan yang pongah. Orientalisme karya Said ini juga mencoba membangun citra yang kuat bagaimana Timur juga mampu menjadi bagian inti dalam penciptaan peradaban dunia.

Walaupun sampai sekarang Palestina dan bangsa Timur lain masih belum mencapai kemajuan sebagaimana Barat, dan Said sendiri juga sudah meninggal pada 25 September 2003, tujuh tahun yang lalu, tetapi ruh buku “Orientalisme” tetap menjadikan perjuangan bangsa Timur tak akan pernah surut. Terbukti sampai sekarang bangsa Timur terus mengalami perkembangan dan kemajuan signifikan, baik dalam proses demokratisasi dan pembangunan ekonomi. Ini bukti bahwa ruh perjuangan Said masih terus menjadi pergerakan bangsa Timur di masa mendatang (onnoy).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar